Friday, March 21, 2014

Sunan Drajat

Sunan Drajat merupakan satu dari sembilan wali yang terkenal disebut Wali Songo. Sunan yang terkenal akan kedermawannya ini, diketahui punya banyak nama, diantaranya adalah Raden Qasim atau Kasim, Masaikh Munat, Pangeran Kadrajat, Pangeran Syarifudin, Syekh Masakeh, Maulana Hasyim, Raden Imam, Sunan Muryapada, dan Sunan Mahmud. Sunan Drajat merupakan putra dari Sunan Ampel dari pernikahannya dengan Nyi Ageng Manila alias Dewi Condrowati. Raden Qosim merupakan satu dari empat bersaudara. Saudara-saudaranya antara lain adalah Sunan Bonang, Siti Muntisiyah (istri Sunan Giri), Nyi Ageng Maloka (istri Raden Patah), dan seorang putri yang merupakan istri Sunan Kalijaga.

Dikisahkan, Sunan drajat menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampel Denta, Surabaya. Setelah dewasa, beliau diperintahkan oleh ayahandanya, Sunan Ampel, untuk berdakwah ke pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah kisah, yang nantinya berkembang menjadi sebuah legenda. Maka, berlayarlah Sunan Drajat. Dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalananannya, perahu yang ditumpangi Sunan drajat terseret badai dan kemudian pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Sunan Dajat selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Selanjutnya, beliau ditolong oleh ikan cucut dan ikan talang (ada juga yang menyebut ikan cakalang). Dengan menunggang pada kedua ikan tersebut, Sunan Drajat berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Berdasarkan sejarah, peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1485 Masehi. Di sana, Sunan Drajat disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah dan Mbah Mayang Madu.

Dikisahkan, dua tokoh tersebut sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di tempat itu beberapa tahun sebelumnya. Sunan Drajat lantas menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri dari Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim kemudian mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk. Jelak, yang mulanya hanyalah dusun kecil yang terpencil, lama kelamaan tumbuh menjadi kampung yang besar dan ramai. Namanya pun berubah menjadi Banjaranyar. 3 tahun kemudian, Sunan Drajat pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, menuju tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat tersebut kemudian dinamai Desa Drajat. Dari sinilah beliau mulai mendapatkan gelar Sunan Drajat.

Akan tetapi, Sunan Drajat masih menganggap lokasi tersebut belum strategis untuk dijadikan pusat dakwah Islam. Sunan Drajat kemudian diberi izin oleh Sultan Demak, yang merupakan penguasa Lamongan waktu itu, untuk membuka lahan baru di wilayah perbukitan yang ada di selatan. Lahan yang masih berupa hutan belantara tersebut dikenal oleh penduduk sekitar sebagai daerah yang angker. Berdasarkan sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah saat pembukaan lahan tersebut. Mereka lantas meneror penduduk di malam hari, dan menyebarkan penyakit. Akan tetapi, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasinya. Sesudah pembukaan lahan selesai, Sunan Drajat bersama para pengikutnya kemudian membangun permukiman baru, seluas sekitar 9 hektar.

Atas petunjuk Sunan Giri, melalui mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang saat ini menjadi kompleks pemakaman, dan disebut Ndalem Duwur. Sunan Drajat kemudian mendirikan masjid sedikit jauh di bagian barat tempat tinggalnya. Masjid inilah yang kemudian menjadi tempat dakwah beliau menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk. Sunan Drajat menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, sampai beliau akhirnya wafat pada tahn 1522. Di tempat ini saat ini dibangun sebuah museum sebagai tempat penyimpanan barang-barang peninggalan Sunan Drajat (termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya). Sementara lahan bekas tempat tinggal Sunan Drajat saat ini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Beliau menurunkannya kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik itu melalui perkataan ataupun perbuatan. ''Bapang den simpangi, ana catur mungkur,'' demikian petuah beliau. Yang kurang lebih maksudnya adalah, "jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu". Sunan Drajat memperkenalkan Islam dengan konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara bijak, tanpa paksaan. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan Drajat menempuh 5 metode. Pertama, melalui pengajian secara langsung di masjid ataupun langgar. Kedua, dengan menyelenggarakan pendidikan di pesantren. Ketiga, memberi fatwa dan petuahnya dalam menyelesaikan masalah. keempat, dengan kesenian tradisional. Sunan Drajat seringkali berdakwah melalui tembang pangkur dengan iringan gending. Kelima, beliau juga menyampaikan ajaran Islam melalui ritual adat tradisional, asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Empat pokok ajaran Sunan Drajat ialah:
  1. Paring teken marang kang kalunyon lan wuta (berikat tongkat pada yang buta)
  2. Paring pangan marang kang kaliren (berikan makan pada yang kelaparan)
  3. Paring sandang  marang kang kawudan (berikan pakaian pada yang telanjang)
  4. Paring payung  kang kodanan. (berikan payung pada yang kehujanan)

Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Beliau seringkali berjalan mengelilingi kampung pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang konon, semakain merajalela selama dan sesudah pembukaan hutan. Selesai shalat ashar, Sunan Drajat juga mengelilingi kampung sambil berzikir dan mengingatkan penduduk untuk melaksanakan shalat magrib. ''Berhentilah bekerja, jangan lupa shalat,'' katanya dengan nada membujuk. Beliau selalu menelateni warga yang sakit, dengan mengobati memakai ramuan tradisional yang disertai dengan do'a. Seperti halnya para wali lainnya, Sunan Drajat terkenal sakti. Sumur Lengsanga di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan Drajat saat beliau merasa kelelahan dalam sebuah perjalanan. Saat itu, Sunan drajat meminta pengikutnya untuk mencabut wilus (sejenis umbi hutan). Kata Sunan Drajat kehausan, Beliau berdo'a. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi tersebut memancar air bening yang selanjutnya menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikah dengan tiga wanita. Sesudah menikahi Kemuning, saat menetap di Desa Drajat, Sunan Drajat menikahi Retnayu Condrosekar yang merupakan putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.

Peristiwa tersebut diperkirakan terjadi pada tahun 1465 Masehi. Berdasarkan Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat ialah Dewi Sufiyah yang merupakan putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Sunan Drajat sempat dikirim ayahnya untuk berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Sunan yang memiliki nama Syarif Hidayatullah itu adalah bekas murid Sunan Ampel. Di kalangan para ulama di Jawa, bahkan sampai saat ini, memang ada tradisi ''saling memuridkan''. Dalam Babad Tjerbon dikisahkan, sesudah menikah dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat tinggal di Kadrajat. Beliau pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.

Bekas padepokan Pangeran Drajat saat ini menjadi kompleks pemakaman, lengkap dengan cungkup makam petilasan, yang terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang dinamai Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar serta Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga orang putra. Anak bungsu bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Yang kedua Pangeran Sandi, dan anak yang bungsu, Dewi Wuryan. Ada pula cerita yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikahi Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat orang putra. Akan tetapi, cerita ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.

Tidak jelas, apakah Sunan Drajat datang ke Jelak sesudah berkeluarga atau belum. Akan tetapi, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ''Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga....''. ketika diperintah Sunan Ampel, Sunan Drajat konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya saat perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mempelajari naskah kuno untuk menjawa hal itu.

Unknown

Tolong dibantu Sharenya ya.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

 

Copyright @ 2014. All Rights Reserved HIDAYAH.

Designed by Template & Sponsored By Hidayah Ulama